menglaju

Juli 13, 2018

*2011, musim gugur*

sudah menjelang siang ketika saya sedang bersiap-siap berangkat dari rumah buklikku di blijswijk, sebelum tiba-tiba beliau membuka percakapan.

“lé, cepetan numpak bus timbang ngenteni ic via zoetermeer lho.. 15 menit meneh depan sterrenlaan. (jv: dik, lebih cepat naik *kereta* intercity lewat kota zoetermeer. 15 menit lagi di depan sterrenlaan)”

“lho, kok buklik tahu dari mana? (id: lho, how do you know auntie)”

lantas beliau mengeluarkan gawai kecilnya, ericson kecil bersinyal gprs.

“ono kabeh lé ning 9292 (jv: ada semua di 9292)”

aku manggut-manggut separuh kagum, separuh iri – padahal bukan kali pertama buklik memberi saran bepergian cuma dari situs itu. entah berapa kali saya melamun selama di belanda, berandai-andai, kapan Indonesia bisa mengadopsi model transportasi massa, dan reisplanner seperti itu.

*

saya cukup beruntung dari masa kecil dibesarkan oleh ibu yang menekankan pentingnya tahu dan bisa menggunakan (sekacau-kacaunya) transportasi umum. meskipun (pada masa itu) termasuk sedikit yang beruntung bisa diantar-jemput dengan mobil ke sekolah, ibu selalu menekankan saya untuk tahu semua trayek dari dan ke sekolah, dan tak jarang membiarkan anaknya keleleran di jalan – menemukan jalan pulang sendiri. saya besar di becak, angkot merah simpang lima – mangkang, mikrolet 21 rawamangun, metromini 46 kampung melayu.

transportasi umum kita pada waktu itu sucks berat, mari akui itu. saya kemudian menjadi pengguna setia mobil, dan mengumpat tentang bagaimana pemerintah gagal mengatasi kemacetan, gagal menyediakan transportasi publik yang dapat diandalkan, sembari menjadi bagian dari kemacetan itu sendiri, mari akui itu juga. pada waktu itu saya pun sempat sedikit banyak sebal dengan ibu sendiri yang tega-teganya menyuruh anak gedumbrangan di bus-bus, bahkan bukan ojek atau taksi, alih-alih memberi (lebih awal) motor atau mobil padahal kalau mau mereka bisa dan mampu-mampu saja.

pada akhirnya, nilai yang ibu saya tanamkan dengan keras *mom, i still remember how you won’t let me go with ojek after i woke up late, arrived at school late, and i have to climb out school’s fence belakang sawin* ini, dan juga bepergian serta tinggal di luar negeri, sedikit banyak membentuk wawasan saya tentang bagaimana saya memandang ihwal perpindahan tempat – iya, tentang transportasi sehari-hari. kita harus mempunyai transportasi publik yang dapat diandalkan dan saya/kita sendiri harus menggunakan itu.

**

baru setelah 7 tahun, andai-andai kecil itu kesampaian. jauh tertinggal dan banyak kekurangan memang, tapi akhirnya tokh pemerintah kita bisa juga beneran kerjanya – punya juga kita kereta komuter, busway, ojek online yang praktis, bahkan aplikasi reisplanner dan nanti light rail transit. kenapa saya/kamu/kita yang dulu mengeluh dan mengumpat jeleknya dan mungkin pernah bergumam males ah! di-yukéi mah oke, ga kayak jakarta gini ga bisa hidup seperti kita dulu pernah mengagung-agungkan transportasi massa di luar negeri?

never have i been a happier person, living up one of my mom’s original advices.

gentar

Juli 22, 2017

sudah sore sekali dari kami pulang dari aachen, ini pun masih di stasiun maastricht – masih dua jam perjalanan kereta menuju delft. sudah terbayang akan main-main kembali dengan sepupu di rumah tante, obat lelah untuk betis yang sudah mau lepas dipakai wara-wiri di kotanya pak habibie.

“dik, kita mesti detour lewat heerlen, jalur kereta maastricht ke ranstadt disteril. ada yang loncat ke rel kereta – bunuh diri.”

“(apa pulak ini londo, udah mokat masih nyusahin orang, culun banget sih ga bisa ngadepin hidup sampe mesti bunuh diri, kecut) …. iya mba”, lantas kami berpindah peron sepur. waktu tempuh pun bengkak sejam.

*

tiga belas tahun lalu, waktu itu saya masih pelajar sekolah menengah, gerutu gumam itu adalah sikap dan simpulan saya mengenai bunuh diri. bunuh diri termasuk perbuatan tercela akibat kurangnya pendidikan, kurangnya pemenuhan kegiatan non-akademis, kurang dekatnya dengan Tuhan dan nilai-nilai agama. begitu lugas, tanpa tawar, atau coba melihat dari aspek mana pun.

pandangan ini lama-kelamaan luntur ketika saya masuk sekolah kedokteran, tambah lagi ketika masuk blok kejiwaan, tambah lagi ketika stase psikiatri. hidup dengan naik turunnya mempertemukan saya dengan banyak orang, pada mereka yang menyalahgunakan napza, pada mereka yg menderita trauma psikis, pada mereka yang diterpa masalah berat bertubi-tubi, yang tak punya penolong, pada mereka yang jatuh dalam depresi. bunuh diri tidak pernah sederhana, bukan perkara dangkal.

ada yang lebih gawat dari sekadar tekanan kejiwaan, atau imbalans neurotransmitter dalam otak, yang menggiring pelaku memandang bunuh diri sebagai jalan keluar menghentikan sedih, sakit, rasa tersingkir, tidak dibutuhkan yang sudah berlangsung berkepanjangan. yaitu penyangkalan khalayak ramai bahwa masalah kejiwaan (elasi, depresi, dkk.) itu riil. mereka yang bertentamen bukan kumpulan orang2 manja lemah, tapi pejuang2 keras yang sudah mulai kepayahan. kita hidup di masyarakat di mana curhat dianggap banci, datang ke psikiatri dianggap aib, ekspresi dan katarsis dianggap liberal.

kita boleh berpremis, bunuh diri pada akhirnya tetaplah egois, menggores luka psikis bagi mereka yang ditinggalkan; kita pun juga mesti mengakui kemanusiaan kita yang tidak terusik berita bunuh diri, yang tidak menjawab panggilan tolong tak tersuarakan, adalah kemanusiaan yang gagal. jika kamu sepakat dengan sebuah ujaran terkenal di internet, bahwa bunuh diri bukan hanya menghentikan kemungkinan hidup tambah buruk, tapi juga menghilangkan peluang hidup menjadi lebih baik, maka hiduplah yang menghidupi, yang menghidupkan.

jauh di dalam hati, mereka pun tahu mereka ingin dihentikan. telunjuk yang menarik pelatuk itu pun, juga, kita tahu baik

gentar

;

tentang berdoa

Agustus 17, 2016

ada yang bilang Tuhan serupa kekasih yang menanti kita, pasangan kurang ajar yang kebanyakan lupa padaNya.misuh-misuh sebal. tapi yang lucunya, tertatih kita datang, berlari Dia menyambut. merayu kita picisan, menyender Dia menggelayut.

saya percaya bahwa berdoa tidak mesti dengan bahasa tertentu dan penggunaan bahasa tertentu tidak akan menentukan suatu doa lebih mungkin dikabulkan atau tidak. saya tidak pernah suka doa yang mengancam, yang di dalamnya menguntai kata-kata siksa atau pembalasan karena doa adalah salah satu cara kamu berbicara empat mata dengan Tuhan. dan sepantasnya kamu sedang berduaan dengan yang maha terkasih, sudikah berbicara denganNya dengan cela kata, cela nada, dan cela suara?

rima akhir pada doa menteri agama pada hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan di istana negara, 17 agustus 2016 pagi lalu

berjaga

Juli 14, 2016

kami bersenyum di tengah senda gurau kalian,
yang di tempat hangat dan dekat sentuh keluarga
yang kami tatap layar telepon genggam
empat mata mengharap ada bapa

kami berjingkat di tengah tidur kalian,
yang di tempat tenang dan sunyi pekat
yang kami tiup dalam terompet kerja
roda brankar bergemeratak

tidak ada ave maria ini malam
tidak untuk mujur yang kadang alpa
maka peluk-peluklah kami yang terikat sumpah
kalian tahu; dalam dada kami
rindu penuh umpah

(malam lebaran, 2016)