gentar

Juli 22, 2017

sudah sore sekali dari kami pulang dari aachen, ini pun masih di stasiun maastricht – masih dua jam perjalanan kereta menuju delft. sudah terbayang akan main-main kembali dengan sepupu di rumah tante, obat lelah untuk betis yang sudah mau lepas dipakai wara-wiri di kotanya pak habibie.

“dik, kita mesti detour lewat heerlen, jalur kereta maastricht ke ranstadt disteril. ada yang loncat ke rel kereta – bunuh diri.”

“(apa pulak ini londo, udah mokat masih nyusahin orang, culun banget sih ga bisa ngadepin hidup sampe mesti bunuh diri, kecut) …. iya mba”, lantas kami berpindah peron sepur. waktu tempuh pun bengkak sejam.

*

tiga belas tahun lalu, waktu itu saya masih pelajar sekolah menengah, gerutu gumam itu adalah sikap dan simpulan saya mengenai bunuh diri. bunuh diri termasuk perbuatan tercela akibat kurangnya pendidikan, kurangnya pemenuhan kegiatan non-akademis, kurang dekatnya dengan Tuhan dan nilai-nilai agama. begitu lugas, tanpa tawar, atau coba melihat dari aspek mana pun.

pandangan ini lama-kelamaan luntur ketika saya masuk sekolah kedokteran, tambah lagi ketika masuk blok kejiwaan, tambah lagi ketika stase psikiatri. hidup dengan naik turunnya mempertemukan saya dengan banyak orang, pada mereka yang menyalahgunakan napza, pada mereka yg menderita trauma psikis, pada mereka yang diterpa masalah berat bertubi-tubi, yang tak punya penolong, pada mereka yang jatuh dalam depresi. bunuh diri tidak pernah sederhana, bukan perkara dangkal.

ada yang lebih gawat dari sekadar tekanan kejiwaan, atau imbalans neurotransmitter dalam otak, yang menggiring pelaku memandang bunuh diri sebagai jalan keluar menghentikan sedih, sakit, rasa tersingkir, tidak dibutuhkan yang sudah berlangsung berkepanjangan. yaitu penyangkalan khalayak ramai bahwa masalah kejiwaan (elasi, depresi, dkk.) itu riil. mereka yang bertentamen bukan kumpulan orang2 manja lemah, tapi pejuang2 keras yang sudah mulai kepayahan. kita hidup di masyarakat di mana curhat dianggap banci, datang ke psikiatri dianggap aib, ekspresi dan katarsis dianggap liberal.

kita boleh berpremis, bunuh diri pada akhirnya tetaplah egois, menggores luka psikis bagi mereka yang ditinggalkan; kita pun juga mesti mengakui kemanusiaan kita yang tidak terusik berita bunuh diri, yang tidak menjawab panggilan tolong tak tersuarakan, adalah kemanusiaan yang gagal. jika kamu sepakat dengan sebuah ujaran terkenal di internet, bahwa bunuh diri bukan hanya menghentikan kemungkinan hidup tambah buruk, tapi juga menghilangkan peluang hidup menjadi lebih baik, maka hiduplah yang menghidupi, yang menghidupkan.

jauh di dalam hati, mereka pun tahu mereka ingin dihentikan. telunjuk yang menarik pelatuk itu pun, juga, kita tahu baik

gentar

;